Ceramah.org – Terkait mengenai cara melakukan perdamaian, syarat dan melakukan perdamaian jika bersengketa, kita akan membawakan hadits yang diriwayatkan oleh Amr bin ‘Auf Al Muzaniy radhiyallahu ta’ala ‘anhu. Beliau mengatakan, Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda:
الصُّلْحُ جَائِزٌ بَيْنَ الْمُسْلِمِينَ، إِلَّا صُلْحًا حَرَّمَ حَلَالًا وأَحَلَّ حَرَامًا، وَالْمُسْلِمُونَ عَلَى شُرُوطِهِمْ، إِلَّا شَرْطًا حَرَّمَ حَلَالًا وَأَحَلَّ حَرَامًا.
“Melakukan shulh (perdamaian) boleh dilakukan di antara sesama kaum muslimin, kecuali berdamai yang di dalamnya terkandung mengharamkan sesuatu yang halal atau menghalalkan sesuatu yang haram. Dan kaum muslimin wajib untuk diberikan sesuai dengan apa yang mereka syaratkan kecuali apabila syarat tersebut mengharamkan apa yang halal atau menghalalkan sesuatu yang haram. (Hadits shahih riwayat At Tirmidzi)
Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di rahimahullah menjelaskan bahwa hadits ini berisi tentang dua perkara penting di dalam bermuamalah. Hadits ini mencakup:
- Perkara shulh (perdamaian) dan syarat melakukan perdamaian antara kedua belah pihak tatkala mereka bersengketa.
- Perkara mengajukan syarat di dalam melakukan suatu akad.
1 Perkara shulh (perdamaian)
Shulh adalah perdamaian atau menempuh jalan damai tatkala berselisih atau bermusuhan. Shulh merupakan sesuatu yang baik dan dianjurkan oleh syar’iat.
Apabila perdamaian tersebut mengharuskan salah satu atau kedua belah pihak merelakan haknya maka ini boleh dilakukan.
Selama hal itu tidak berupa mengharamkan apa yang halal seperti mengambil hak orang lain dengan tanpa izin, dan tidak pula menghalalkan sesuatu yang diharamkan seperti terjerumus ke dalam perbuatan riba (misalnya) merelakan haknya untuk menbayarkan riba.
Maka hal ini tidak diperbolehkan karena Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam di dalam hadits ini mensyaratkan, “Bolehnya melakukan perdamaian selama tidak mengharamkan apa yang halal atau menghalalkan yang haram.”
Dibawakan beberapa contoh dalam permasalahan ini.
Permasalahan shulh (berdamai) yang boleh
Si A meminjamkan uang pada si B dan si B (peminjam) mengakui memiliki hutang kepada si A, maka boleh si A (pemilik uang) merelakan sebagian uangnya atau merelakan semua uangnya tidak dibayar oleh si B (ini termasuk shulh)
Atau seandainya si B (yang berhutang) dia mengingkari bahwasanya dia memiliki hutang kepada si A, maka tidak mengapa si A (yang meminjamkan uang) merelakan hutangnya tidak dibayar oleh si B, daripada harus bertengkar dan bermusuhan gara-gara si B (yang berhutang) mengingkari kalau dia memiliki hutang kepada si A.
Permasalahan dalam rumah tangga
Begitu juga di dalam kehidupan rumah tangga, boleh bagi suami istri untuk melakukan shulh (berdamai) tatkala mereka bersengketa dalam suatu hak, boleh merelakan beberapa hak dari masing-masing.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
فَلَا جُنَاحَ عَلَيۡهِمَآ أَن يُصۡلِحَا بَيۡنَهُمَا صُلۡحٗاۚ وَٱلصُّلۡحُ خَيرٌ
“Maka keduanya dapat mengadakan perdamaian yang sebenarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka).” (QS. An Nissa’: 128)
Perdamian dalam hukum had
Melakukan shulh dalam permasalah hak yang harus ditunaikan dalam hukuman had. Misalkan:
Pihak korban menggantinya dengan diyat pembayaran atas qishash (ganti qishash) atau atas luka yang ditimbulkan karena perbuatan tersebut maka ini termasuk hal yang boleh dilakukan oleh kedua belah pihak.
Dan ini masuk dalam sabda Nabi shallallahu ‘alayhi wa salaam:
الصُّلْحُ جَائِزٌ
“Melakukan perdamaian itu boleh. “
2 Mengajukan syarat di dalam melakukan suatu akad.
Beliau shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda:
وَالْمُسْلِمُونَ عَلَى شُرُوطِهِمْ، إِلَّا شَرْطًا حَرَّمَ حَلَالًا وَأَحَلَّ حَرَامًا
“Dan kaum muslimin wajib untuk diberikan sesuai dengan apa yang mereka syaratkan kecuali apabila syarat tersebut mengharamkan apa yang halal atau menghalalkan sesuatu yang haram.”
Contoh, Misalkan dalam syarat akad terdapat kelebihan riba, maka itu tidak diperbolehkan.
Syarat tersebut merupakan syarat yang bathil karena di dalam syarat tersebut, “menghalalkan apa yang haram”.
Namun jika terlepas dari hal tersebut, (mengharamkan apa yang halal atau menghalalkan apa yang haram) maka pada asalnya syarat tersebut boleh dan wajib untuk ditunaikan.
Contoh, Misalkan pada transaksi jual beli, si pembeli mensyaratkan adanya sifat-sifat tertentu yang telah disebutkan di dalam akad, maka penjual wajib memenuhi syarat yang telah diajukan tersebut.
Misalkan sang pembeli mensyaratkan penundaan pembayaran setelah beberapa waktu dengan tempo yang telah ditentukan, maka syarat ini boleh untuk disepakati dan penjual wajib untuk memberikan tenggang hingga batas waktu yang telah disepakati.
Atau sebaliknya, Misalnya penjual dia mensyaratkan untuk memakai barangnya terlebih dahulu selang beberapa waktu setelah terjadinya akad (dengan ditentukan waktunya) maka ini juga boleh dilakukan.
Contoh, Penjual akan menjual rumahnya namun mensyaratkan rumah tersebut baru akan diserahkan kepada pembeli setelah satu bulan terjadinya akad, maka ini juga boleh dilakukan.
Dari hadits ini, Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam memberikan kepada kita faedah yang penting di dalam melakukan perdamaian dan di dalam mengajukan syarat di dalam bermuamalah sesama manusia.
Demikian beberapa faedah yang bisa kita ambil dari hadits berkaitan dengan melakukan perdamaian jika bersengketa.
Semoga ini bisa memberikan kepada kita pencerahan tentang bagaimana mengajukan atau melakukan perdamaian di dalam bersengketa dengan orang lain dan juga mengajukan syarat di dalam bermuamalah dengan orang lain.