Ceramah.org – Di bulan Dzulhijjah ini, kita mengambil pelajaran yang cukup banyak di antaranya adalah, ternyata yang terpenting dalam ibadah kita harus mengikuti SOP (Standart Operasional Peribadahan) atau yang kita kenal dengan syar’iat.
Dalam ibadah qurban (misalnya) kita pernah mendapatkan sebuah kisah yang memiliki pelajaran berharga. Dalam hadits riwayat Muslim, shahabat Jabir bin Abdillah radhiyallahu ta’ala ‘anhuma bercerita:
صَلَّى بِنَا النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم يَوْمَ النَّحْرِ بِالْمَدِينَةِ فَتَقَدَّمَ رِجَالٌ فَنَحَرُوا وَظَنُّوا أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم قَدْ نَحَرَ فَأَمَرَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم مَنْ كَانَ نَحَرَ قَبْلَهُ أَنْ يُعِيدَ بِنَحْرٍ آخَرَ وَلاَ يَنْحَرُوا حَتَّى يَنْحَرَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم
Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam pernah shalat Ied bersama kami di Madinah pada tanggal 10 Dzulhijjah, lalu beberapa orang menyembelih hewan qurbannya, mereka mengira bahwa Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam telah menyembelih hewan qurbannya.
Kemudian Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam berkata:
“Siapa yang menyembelih sebelum Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam agar mengulangi ibadah qurbannya. Dan jangan sampai ada yang menyembelih sampai Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam menyembelih hewan qurbannya.” (Hadits shahih riwayat Muslim nomor: 1964)
Dari kisah ini kita tahu bahwa ibadah qurban pada masa Nabi shallallahu’alayhi wa sallam harus dilakukan setelah Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam qurban.
Kalau sekarang, kita melakukan ibadah qurban harus setelah shalat Ied.
“Barangsiapa menyembelih hewan qurbannya sebelum shalat Ied maka ibadah kurbannya tidak sah.”
Anda sudah terbayang, apa masalahnya? Coba ada pikirkan!
Berapa jarak antara penyembelihan dari Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam dan penyembelihan dari shahabatnya?
Dan zaman sekarang, berapa jarak penyembelihan sebelum shalat ataupun sesudah shalat, adakah satu jam? Saya kira tidak sampai satu jam, tapi ternyata ibadah tersebut dikatakan tidak sah.
Ini menandakan dalam ibadah, jalan yang lebih selamat adalah
- Mengikuti contoh Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam
- Mengikuti SOP (Standart Operasional Peribadahan) yang disampaikan oleh Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam,
Jangan berusaha untuk berinovasi di dalam beribadah, karena inovasi dalam ibadah merupakan hal yang dilarang dalam agama kita.
Dalam ibadah kita hanya boleh melakukan duplikasi (meniru atau mencontoh) saja.
IBADAH ITU DUPLIKASI BUKAN INOVASI
Dan hal ini kita dapat juga mengambil pelajaran dari puasa yang diharamkan pada tanggal 10,11,12 dan 13 Dzulhijjah. Dalam sebuah hadits dari Abi Said Al Khudriy radhiyallahu ta’ala ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda:
أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ صِيَامِ يَوْمَيْنِ، يَوْمِ الْفِطْرِ، وَيَوْمِ النَّحْرِ
“Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam melarang puasa pada dua hari, yaitu hari raya Iedul Fitri dan Iedul Adha.” (Hadits riwayat Al Bukhari dan Muslim)
Dalam hadits lain. Hadits dari Nubaisyah Al Hudzali radhiyallahu ta’ala’anhu, Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda:
أَيَّامُ التَّشْرِيقِ أَيَّامُ أَكْلٍ وَشُرْبٍ
“Hari-hari Tasriq adalah hari makan-makan dan minum.”(Hadits riwayat Muslim)
Kita mengerti bahwa puasa adalah ibadah yang agung, tetapi ibadah itu harus dibangun di atas aturan-aturan syar’iat, tidak bisa kita membuatnya (membangun) ibadah dengan perasaan atau prasangka. Kita harus tahu dengan benar mana ibadah dan mana kemaksiatan dengan menggunakan dalil-dalil.
Bahkan terkadang ibadah yang besar seperti puasa, akan menjadi kemaksiatan dan dosa di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala, jika kita melanggar aturannya.
Sehingga dari ini semua kita tahu yang terpenting adalah bagaimana kita tunduk dan taat kepada Allah dan Rasūl-Nya. Bukan bagaimana kita banyak ibadah atau target ibadah kita banyak.
Ibadah harus diletakkan di bawah ketaatan dan ketundukan, di bawah aturan atau SOP syar’iat.
- Ketika kita diminta berpuasa, maka kita berpuasa.
- Ketika kita diminta tidak berpuasa maka kita jangan berpuasa.
Karena yang terpenting seorang harus tunduk dan patuh kepada Allah dan Rasul-Nya.
Ketika kita tidak berpuasa karena tunduk dan patuh kepada Allah dan Rasul-Nya, kita pun akan mendapatkan pahala dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, (insya Allah).
Kita tutup dengan sebuah kalimat yang disarikan dari hadits Nabi shallallahu’alayhi wa sallam dan mungkin kita sudah sering mendengarnya, bahwa:
- Kita tidak akan memasuki surga Allah dengan amal ibadah kita.
- Kita tidak akan memasuki surga Allah dengan shalat kita, dengan puasa kita.
Akan tetapi kita masuk surga Allah karena keridhaan dan rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Semoga pembahasan ini bermanfaat, semoga ini menjadi bekal kita dalam beramal, untuk memperbanyak bekal menuju Allah Subhanahu wa Ta’ala dan mengapai surga-Nya.